Lan
meraih sebuah mantel cokelat kusam yang terlipat rapi di dalam lemari. Ia ragu
sejenak. Apakah ia akan membawa mantel itu serta? Lan ingat, itu adalah mantel
yang diberikan Ellial padanya saat pertama kali mereka bertemu. Lan mengambil
napas cepat, lalu menghembuskannya perlahan.
Dipakainya mantel itu,
lantas beranjak keluar dengan langkah yang dimantapkan. Sebelum ia meninggalkan
rumah, ia sempat membuat guratan kecil yang membentuk segitiga di dalam
lingkaran di palang pintu. Ditatapnya sebentar guratan itu, dalam hati ia
berharap adiknya bisa melihat guratan itu bila kembali nanti. Itu pun jika
mereka tidak bertemu di tengah pencarian Lan.
Lan berjalan perlahan dari
tepi hutan, menuju kota. Hanya ada satu tempat yang harus dituju jika ia
menginginkan informasi. Lan menghentikan langkah sebentar. Ia sudah berada di
tebing tepi hutan, pandangannya lurus ke bawah, ke tempat ribuan rumah hunian
tersusun teratur di atas dataran yang diapit dua bukit batu. Lan akhirnya
berjalan memutar melewati jalan setapak yang melingkar spiral di sekeliling
salah satu bukit—satu-satunya jalan penghubung antara kediaman klan Verellin
dan kota kecil Regal.
Seperti dugaan Lan, hari
sudah gelap saat ia nyaris mencapai Lubang Temu. Kini, ia hanya bisa
mengandalkan matanya untuk menemukan gua kecil itu. Ia membuang napas,
bersyukur karena bulan sedang purnama hingga dapat membantunya menyimak jalan. Tak
lama berjalan, ia akhirnya bisa menemukan bayangan agak lebar yang lebih gelap
dari bebatuan di sekelilingnya, tapi juga samar-samar terlihat berpendar. Hanya
ada satu alasan. Lan pun bergegas ke sana.
Lan tersenyum saat menemukan
sebuah gua kecil dengan tanaman rambat yang berpendar aneh di atap gua.
Pendarannya sudah lebih dari cukup untuk bisa membuatnya melihat sisi-sisi gua,
menyadarkannya bahwa gua itu tidak sekecil kelihatannya. Tapi, pendaran itu pun
cukup remang untuk membuat Lan tak sadar bahwa ada sesuatu di lantai gua yang
membuatnya terjungkal saat ia melangkah masuk.
Lan mengumpat. Ia terlalu
terkesima memandangi atap untuk bisa memperhatikan sesuatu yang tergeletak di
lantai yang membuatnya terjerembab. Ia segera bangkit dan menghampiri sesuatu
itu.
Sesuatu itu tertutup mantel
putih gading kehijauan—akibat pendaran cahaya hijau dari tanaman rambat aneh di
atap—yang sudah sobek di sana-sini. Wujudnya sendiri tak tampak, hanya
menyisakan surai-surai hijau kehitaman—Lan tak yakin, di bawah pendaran remang
cahaya hijau itu, semuanya tampak berwarna kehijauan atau semacamnya. Lan
kemudian sadar. Itu bukan surai, tapi rambut. Itu juga bukan sesuatu. Itu seseorang.
Lan langsung jatuh pada
kedua lututnya. Cepat, dibalikkannya sosok itu. Lan membelalak saat menemukan
bahwa sosok itu adalah seorang gadis belasan tahun. Disingkirkannya rambut
panjang yang menutupi leher jenjang gadis itu. Lan cepat-cepat menyentuhkan
jemarinya ke leher itu. Ia seketika menghela lega ketika jemarinya masih
merasakan denyut nadi dari balik kulit pucat itu. Kening mengerut gadis itu
meyakinkan Lan bahwa gadis itu tidak sedang tidur. Gadis itu pingsan.
Lan lalu menepuk-nepuk pipi
gadis itu. Keras. Tak lama, gadis itu membuka mata. Lan seketika membelalak.
Pendar kehijauan tanaman rambat di atap tak mengubah keyakinan Lan soal warna
mata gadis itu. Kelabu gelap. Hidung gadis itu juga kecil, dengan dagu agak
panjang.
“Hei, apa kau orang selatan?
Bagaimana kau bisa ada di sini?”
Gadis itu hanya menggumam
kecil. Terlalu lemah untuk sampai ke telinga Lan. Ia pun menunduk, mendekatkan
telinganya ke mulut gadis itu.
“Aku lapar,” bisik gadis itu
lemah.
Lan seketika mengangkat
kepalanya lagi. Tentu saja. Gadis itu pasti pingsan karena kelaparan. Lan
kemudian membantu gadis itu bangun dan menyandarkannya di dinding gua. Ia
segera meraih tas butut yang tersampir di samping tubuhnya, mengambil roti
gandum yang sempat disambarnya dari rumah sebelum pergi, lalu menyodorkannya
pada gadis itu. Hanya butuh beberapa saat untuk roti itu raib. Lan lalu
mengambil kantong air dari dalam tas dan menyerahkannya pada gadis itu. Lan
yakin gadis itu baru saja menghabiskan separuh isi kantong itu.
“Terima kasih. Kau baik
sekali.”
Lan seketika mengernyit.
“Kau … fasih sekali bahasa kami. Logatmu juga tak seperti orang selatan.”
Lan mengamati gadis itu
lagi. Ia tak mungkin salah mengenali orang. Bahkan gadis itu pun masih
mengenakan pakaian orang selatan—kerah baju rendah dengan memperlihatkan
belikat, juga rompi luar tanpa lengan berkerah rendah membentuk kotak. Satu hal
yang menarik perhatian Lan. Baju itu berlengan panjang sampai mendekati buku
jari. Lan kembali mengernyit. “Kau bukan dari keluarga miskin. Lengan bajumu
menunjukkan kalau paling tidak kau adalah bawahan seorang bangsawan. Apa aku
salah?”
“Tidak, kau benar. Aku di
sini mencari majikanku. Dia kabur dari rumah. Entah bagaimana, aku sampai di
sini dan ambruk karena kelaparan.”
“Siapa namamu?”
“Sua. Kau siapa?”
“Namaku Lan.”
“Lan?” Mata Sua seketika
membulat. Ia lalu mencondongkan tubuh ke arah Lan. Diamatinya Lan dari atas
hingga bawah, mau tak mau membuat Lan risih. Sua kemudian tersenyum. “Kau juga
bukan orang utara. Nama dan perawakanmu tidak seperti mereka. Padahal, kau
begitu fasih bahasa utara.”
“Sepuluh tahun hidup di
keluarga bangsawan kuno negeri ini sudah lebih dari cukup untuk membuatku
terbiasa dengan adat sini.”
“Kalau begitu, kau berasal
dari mana?”
Lan hanya memandangi gadis
di hadapannya itu tajam. Dilihat dari perawakannya, gadis itu seumuran dengan
adiknya. Ia lalu menghela panjang dan bangkit menjauhi Sua. Ia kemudian
bersandar ke dinding di seberang tempat bersandar Sua. Diabaikan seperti itu,
Sua hanya memajukan bibirnya dengan alis menyatu. Sua kemudian bangkit dan
duduk di samping Lan. Lan bergeser menjauh, tapi Sua kembali memepetnya,
membuat Lan tak punya pilihan lain kecuali kembali menatap gadis itu tajam.
“Apa yang kaulakukan?”
“Dingin,” jawab Sua singkat.
“Kita bisa saling berbagi kehangatan dengan berdekatan seperti ini.”
“Aku tidak ingin berbagi
kehangatan,” kata Lan sambil beranjak menuju sisi seberang.
Mereka kini berhadapan. Lan
seketika membuang muka saat menangkap senyuman Sua. Lan berbaring, berusaha
memejam. Ia melirik ke seberang, demi menemukan Sua yang juga berbaring sambil
menatap lurus padanya. Senyum simpul kembali menghiasi wajah Sua, yang seketika
itu juga mengingatkan Lan pada Yue. Ia pun cepat-cepat berbalik memunggungi
Sua. Matanya menatap kosong ke arah dinding gua. Sesuatu tentang Yue
menggelitik benaknya, membawanya kembali ke masa lalu.
“Ini adalah ikatan kita,” kata seorang anak laki-laki
sambil menggurat sebuah lingkaran di atas tanah dengan patahan ranting. “Lalu,
ini,” lanjutnya sambil kembali memberikan guratan membusur di dalam lingkaran,
“adalah fondasinya.”
Si Anak Lelaki mendongak, menatap senang saat seorang
anak perempuan dan seorang anak laki-laki yang lebih muda darinya itu menatanya
bingung. Ia lalu menoleh pada anak perempuan itu. “Itu kau, Lan.”
“Aku … fondasinya?” tanya Lan bingung.
Anak lelaki itu hanya mengangguk. Ia kemudian kembali
memberi guratan membusur di dalam lingkaran. Dua kali, hingga ketiga guratan di
dalam lingkaran itu membentuk segitiga. “Dua sisanya adalah bangunannya. Aku
dan Yue,” katanya sambil mengacak-acak rambut anak lelaki yang lebih muda
darinya. Anak lelaki yang lebih muda itu hanya tertawa senang.
Si Anak Lelaki mengikuti guratan melingkar dengan
jemarinya. “Takkan terpisah selamanya.” Jemarinya lalu beralih ke guratan
segitiga. “Kita … saudara sampai mati.”
Ketiganya pun tertawa, seolah itu adalah tawa terakhir
mereka di dunia ini.
Lan menghela cepat. “Kenapa
aku yang jadi fondasinya? Kakak … aku tak pernah punya kesempatan untuk
bertanya.”
“Kau bicara padaku?”
Tersentak, Lan bangkit dari
tidurnya dan berbalik demi menemukan tatapan penasaran dari Sua. Lan
benar-benar lupa kalau ia tidak sedang sendirian di Lubang Temu. Ia hanya
mendengus kesal. “Sudah, tidurlah.”
Lan kembali berbaring, lalu
memejam. Kali ini benar-benar berusaha untuk tidur. Sementara, Sua tak sebentar
pun memejam. Matanya tertuju langsung pada Lan. Sorot mata kelabunya mengelam,
dan senyumnya hilang.
***
Matahari sudah tinggi saat
Lan nyaris mencapai kaki bukit. Ia berhenti sejenak, mengambil napas. Kehadiran
orang lain di dekatnya membuat Lan menyatukan alis. Ia lalu berbalik, demi
mendapati senyuman Sua di hadapannya.
“Berhenti mengikutiku!”
“Di tempat ini, hanya kau yang
kukenal. Aku tidak tahu wilayah sini. Kalau sembarangan berkeliaran, aku pasti
tersesat.”
“Kalau begitu, cari kenalan
lain.”
“Ayolah,” kata Sua sambil
beranjak lebih dekat ke hadapan Lan. “Aku juga ingin ke kota. Kita bisa ke sana
bersama.”
Lan menatap tajam gadis itu.
Sua bergeming, dan masih tetap tersenyum. Lan kesal sekali melihatnya.
“Sesampainya di kota, menyingkirlah dariku.”
Lan berbalik dan menjauh
dari gadis itu dengan cepat. Tak lama ia berhenti, lalu berbalik lagi. “Sebelum
itu, tutupi dulu lehermu dengan sesuatu.”
“Apa?”
“Apa kau tidak tahu? Di
sini, perempuan yang begitu berani mempertontonkan lekukan leher dan tulang
belikatnya … itu menjijikkan.”
“Itu peraturan dari mana?
Konyol sekali.”
Lan bergegas menuju Sua,
lantas berhenti tak sampai semeter dari gadis itu. “Peraturan yang membedakan
tinggi-rendahnya kasta seseorang berdasarkan panjang-pendeknya lengan baju
justru jauh lebih konyol lagi, kan?”
Sua tak menyangkal. Ia hanya
menggigit bibir bawahnya. “Aku tak punya apa pun lagi untuk menutupi leherku.”
Lan mendengus kesal. Ia lalu
menarik semacam kain panjang dari dalam tas buntutnya. Pelan, ia mengalungkan
kain itu di leher Sua. Hati-hati, Lan mengikatkan kain itu sedemikian rupa
hingga menutupi leher dan belikat Sua. Sua tersenyum setelah Lan menyelesaikan
pekerjaannya. “Kau berubah lembut. Kalau kau sedikit lebih baik lagi, aku pasti
menyukaimu. Kita bisa jadi teman, Lan.”
“Aku tidak butuh uluran
pertemanan dari anak ayam yang sedang kehilangan induknya. Kau seharusnya fokus
saja menemukan majikanmu itu.”
“Kalau begitu, apa kau tahu
tempat yang cocok untuk mencari informasi?”
Lan hanya bisa mengerang
cepat. Seketika, ia merutuki dirinya sendiri. Membuat gadis itu mencetuskan ide
semacam itu hanya akan membuatnya repot sampai seterusnya. Karena tempat tujuan
mereka sama. Lan sepertinya memang harus bertahan dengan gadis itu lebih lama
lagi. Ia sebelumnya berharap bisa menyingkirkan benalu secepat mungkin setelah
mereka tiba di kota. Tapi, ia masih harus menunggu sampai mereka bertemu Nulla.
“Kita harus menemui Nulla.
Dia informan paling bisa dipercaya di sepenjuru daratan utara.”
“Kita? Apa kau juga
mencarinya?”
Bukannya menjawab, Lan
justru mendengus kesal. Ini perjalanan keduanya ditemani benalu. Lan masih
ingat, perjalanan pertamanya ditemani orang lain tidak berakhir baik, terutama
untuknya. Sebuah kota kecil hancur, dan ia dicari-cari pemerintah setempat. Beruntung,
nama klan Verellin membuatnya tak jadi kehilangan kepala. Sejak saat itu, ia
lebih suka bekerja sendirian.
Lan cepat-cepat beranjak
dari tempat itu, menuju kota. Di belakangnya, Sua berlari-lari kecil
menyeimbangi langkah Lan.
Follow sama visit blog aku ya http://hadijayaputra.blogspot.com
BalasHapusbagus nih karyanya,..
BalasHapussemangat berkarya..
senang bisa berkunjung
Berkunjung juga Ke Blog Gua ya