Apakah kaupikir aku sedang kurang kerjaan? Berdiri di sini beberapa
lama hanya demi menemukan sosok berkacamata itu duduk di bangku pojokan
taman dengan laptopnya? Aku selalu sembunyi di sini, satu-satunya tempat
di mana aku bisa memperhatikannya tanpa ketahuan siapa pun. Letaknya di
lantai dua, terhalang pagar tinggi bercelah yang bisa dengan segera
menyembunyikanku bila ketahuan melihatnya. Gedung lama ini sudah jarang
sekali dipakai kuliah. Jadi, ini tempat yang tepat untuk menyembunyikan
diriku dari siapa pun.
Tak jauh dari taman, kulihat seseorang
melangkah mantap. Langkah yang panjang, tidak cepat dan tidak lambat.
Sedang-sedang saja. Ia mengenakan hoodie hitam kali ini. Aih,
masih dengan rambut yang berantakan itu. Ya, tudungnya tidak dipakai,
jadi aku bisa lihat rambutnya yang sudah melewati tengkuk itu. Ia
berjalan menuju bangku itu. Lagi. Ia duduk di sana, lalu membuka
laptopnya. Tidak ada buku-buku atau kertas-kertas bersamanya. Ia pasti
hanya ingin browsing.
Sejenak aku tersenyum. Kau mungkin
penasaran kenapa aku begitu tertarik padanya. Mau kuberitahu?
Sebenarnya sederhana saja. Aku menyukainya. Yah, meskipun mungkin dia
tidak mengenalku. Mungkin kau akan menyebutku secret admirer? Stalker? Aku tidak menyalahkanmu. Karena sejak hari itu, aku memang terus menyelidiki segala hal tentangnya. Tapi, kurasa aku bukan secret admirer, karena perasaanku lebih dari sekadar kekaguman.
Ah, mungkin kau bertanya-tanya “sejak hari itu” itu kapan?
Hari itu, setahun yang lalu—ya, aku sudah men-stalk
dia selama setahun—kami tak sengaja bertemu di dekat jembatan. Dia
tampak berantakan, celananya bagian lutut ke bawah basah kuyup. Dia
sedang menggendong seekor kucing waktu itu, yang sama-sama basah.
Awalnya aku heran, hingga kusadari bahwa kucing itu sekarat. Warnanya
hitam pekat, jadi aku tak bisa melihat luka-luka di tubuhnya. Dia lalu
menghampiriku karena aku yang berdiri paling dekat dengannya, menanyakan
letak klinik hewan.
Dari bisik-bisik orang-orang yang lebih dulu
di sana, belakangan aku tahu bahwa dia tiba-tiba masuk ke sungai saat
melihat kucing hitam itu terbawa arus. Sepertinya dia pecinta binatang.
Hanya orang seperti itu yang mampu terjun ke sungai demi seekor kucing.
Kautahu?
Waktu itu, aku panik sekali. Saat melihat kucing itu, dadaku berdebar
tak karuan—dalam artian buruk, tentu saja. Aku cemas. Maka diam-diam
kuikuti mereka sampai ke klinik hewan di wilayah Kuningan. Untung aku
punya teman yang sedang magang di sana. Kebetulan temanku kenal
mahasiswa koas yang menangani kucing itu. Dari dia jugalah aku tahu
bahwa orang yang kuikuti itu adalah calon maba di tempatku kuliah. Calon
adik tingkatku. Aih, ternyata masih bocah.
Begitulah. Sejak saat itu, aku penasaran orang seperti apa dia.
Konyol,
bukan? Aku sering merasa begitu. Bagaimana aku bisa menyukai seseorang
yang tidak mengenalku seperti ini? Aku dua angkatan di atasnya. Beda
fakultas, pula. Aku MIPA, dia Teknik. Tepatnya, jurusan Teknik Elektro.
Murni, bukan pendidikan. Namanya? Reza Putra Pamungkas. Hmm, Pamungkas?
Dia pasti anak terakhir. Tapi, entahlah.
Sesuatu membuatku mundur
seketika. Mataku membulat saat menyadari matanya yang menemukan
kehadiranku. Aku bergegas sembunyi di balik pagar tinggi bercelah di
samping pagar rendah ini. Dari celahnya, aku bisa melihatnya menutup
laptopnya, bangkit, dan menatap bingung ke arah bekas tempatku berdiri.
Pandangannya seketika beralih ke pagar tinggi bercelah, membuatku segera
berbalik karena panik. Aku tahu pagar ini tinggi, tapi celah-celah ini
tetap saja bisa membuat seseorang melihat bayangan orang yang
bergerak-gerak panik sepertiku, kan? Apa dia melihatku?
Aku
membasahi kerongkonganku yang kering. Suara saat ludahku tertelan makin
membuatku merasa tegang, belum lagi dengan degup jantung yang iramanya
menyihirku untuk bergeming. Aku tak berani beranjak ke mana pun. Aku
merasa keberadaanku akan ketahuan jika aku bergerak sedikit saja.
Setelah
beberapa lama yang terasa selamanya, aku akhirnya berani berbalik.
Seketika aku mendengus kecewa. Dia sudah pergi. Aku langsung tersenyum.
Tentu saja, apa yang kuharapkan?
Aku kemudian menyusuri beranda
menuju tangga. Tiap suara benturan sepatu ketsku pada ubin membuat rasa
tak nyamanku menjadi. Apakah aku serindu itu ingin berinteraksi
dengannya lagi setelah pertemuan pertama kami di jembatan dulu? Aku
tidak tahu. Tapi, kurasa seperti ini pun tak masalah. Refleks, aku
tersenyum.
Belum sampai aku mencapai tangga, kulihat seseorang
berdiri agak jauh di depanku. Aku berhenti seketika. Aku hanya bisa
mematung saat melihat lelaki berhoodie hitam yang sedang menenteng laptop itu tersenyum lega.
Aku masih diam. Mulutku sedikit terbuka, tapi tak satu suara pun sanggup keluar. Aku tercekat.
wah bersambung nih..nice story penasaran ending nya.
BalasHapusini harusnya bisa sampe lebih dari 5 bagian :D
BalasHapus@meutia: ditunggu saja deh XD *Eh?
BalasHapus@Nur: Lebih dari 5 bagian?
Let's see XD <-- sebenernya gak mau bikin panjang-panjang ... paling cuma dua atau tiga bagian totalnya XD *mintadirajam*
Sekalian bikin novel ya, kalo itu mah :p hheheheee :)
BalasHapus@Nur Muchamad
BalasHapusNovel? eh, mungkin suatu saat ... tapi, agak susah ini dibikin cerita panjang :D